Gunung Bumbulan (bubulan, dungulan, penulisan), Gunung Payang, dan Gunung Abang menjadi satu dengan Gunung Batur Purba yang ketinggiannya mencapai 3500 mdpl. Amblasnya bagian kerucut yang membentuk kaldera satu, kira-kira 29.300 SM, dimana Gunung Abang berdiri sendiri dengan ketinggian lebih kurang 2.152 mdpl. Amblas kedua kalinya, kira-kira 20.150 SM, dimana kerucut Gunung Payang, kerucut Gunung Bumbulan/Penulisan membentuk undagan Kintamani.
Lama kelamaan muncul Gunung Kecil (anak Gunung Batur Purba) di tengah danau Batur berpucak Dua (pucak Kanginan dan pucak Kawanan). Maka dari itu desa Pekraman Batur ada dua Jero, yaitu Jero Gede Kanginan (dijabat oleh Jero Gede Duhuran Puri Kanginan), dan Jero Gede Kawanan (dijabat oleh Jero Gede Alitan Puri Kawanan).
Nama Gunung Sebelum Bernama Gunung Batur
1. Gunung Cala Lingga (Cala = tidak bergerak dan tidak dibuat oleh manusia; Lingga = Tempat abadi para Dewa)
2. Gunung Sinarata (Merata kena sinar matahari)
3. Gunung TampurHyang/Tempuh Hyang (Tanda Ida Betara dalam perjalanan yang digonggong (dipikul) oleh pamucangan)
4. Gunung Lebah (rendah)
5. Gunung Ederan (dikelilingi Bukit)
6. Gunung Lekeh (meingkar)
7. Gunung Sari (Inti/Utama)
8. Gunung Indrakila (dikelilingi Munduk)
9. Gunung Kembar (berpuncak dua)
10. Gunung Catur (Gunung berempat)
11. Gunung Batur (Gunung Dasar)
Catatan Meletusnya Gunung Batur
Berdasarkan isi lontar Raja Puranan Pura Ulun Danu Batur di Batur bagian Babad Pati Sora dijelaskan pada tahun Candra Sangkala :
- Angeseng Sasi Wak yaitu tahun Saka 110 (188 Masehi), Gunung Batur meletus
- Wang Sasi Wak yaitu tahun Saka 111 (189 Masehi), Gunung Batur meletus
- Tahun Saka 112 (190 Masehi), Gunung Teluk Biyu meletus
- Wedang Sumiranting, ksiti yaitu Tahun Saka 114 (192 Masehi), Gunung Batur meletus.
- Dari tahun 1804 – 2000 Gunung Batur meletus sebanyak 30 kali. Letusan yang paling dahsyat yaitu pada tanggal 2 Agustus – 21 September 1926 jam 23.00 WITA yang laharnya menimbun Desa Batur dan Pura Ulun Danu Batur. Dengan pertolongan pemerintah Hindia Belanda, para narapidana, serta Batun Sendi Ida Betara (Bayung Gede, Sekardadi, Bonyoh, Selulung, Sribatu, Buahan, Kedisan, Abang, Trunyan, dll) seisi Desa Batur dapat menyelamatkan diri. Termasuk pusaka-pusaka seperti Gong Gede, Semar Kirang bale Pelinggih Mamas-mamas (tombak Lerontek). Semuanya diselamatkan ke Desa Bayung Gede. Setelah pindah ke Di Desa Bayung Gede ini pernah di adakan Puja Wali sebanyak dua kali. Kemudian karena merasa telah aman, penduduk Desa Batur yang sementara mengungsi ke Desa Bayung Gede ingin kembali ke lokasi desa mereka kembali. Namun tidak diijinkan oleh pemerintah Hindia Belanda dengan alasan keselamatan masyarakat. Di tempat baru tersebut, yang disebut Kalanganyar, penduduk Desa Batur diberi lahan dengan ketentuan yang sudah berkeluarga sebanyak 3 are dan untuk Duda/Janda mendapat 1,5 are. Selama menghuni Kalanganyar, para penduduk Desa Batur tetap berupaya membagun kembali Pura Ulun Danu Batur di tempat semula. Setelah beberapa tahun, tepatnya pada bulan April 1935, dilaksanakan Ngusaba Kedesa untuk pertama kali di Pura Ulun Danu Batur yang baru tersebut.
Pada tahun 1963, 6 bulan setelah meletusnya Gunung Agung, terjadi kembali letusan Gunung Batur yang cukup besar. Korban jiwa pada saat itu tidak ada. Letusan ini kembali menimbun Desa Batur dan Pura Ulun Danu Batur. Sehingga semua penduduk mengungsi dan pindah desa ke lokasi desa Batur sekarang ini.
Ada cerita menarik yang disampaikan oleh Jero Gede Alitan Puri Kawanan, yaitu pada saat lahar mau memasuki desa Batur, lahar tersebut berhenti. Kesempatan ini dimanfaatkan oleh penduduk untuk menyelamatkan barang-barang mereka. Bahkan ada yang sempat memanen bawang di ladangnya terlebih dahulu. Setelah semua barang-barang dan hasil kebun mereka selamat, lahar yang tadinya berhenti bergerak kembali menuju arah desa sampai menimbun seluruh desa tersebut.
Setelah pindah desa tersebut, kecuali terkena debu, sampai saat ini tidak pernah terkena dampak langsung dari letusan Gunung Batur.

0 komentar :
Posting Komentar